Senin, 19 April 2010

SKS Fiktif

So much time and so little to do. Wait a minute. Strike that. Reverse it.


Kuliah di ITB jurusan Teknik Industri berhasil ngebuat gue menjadi yang maha siswa yang maha sibuk.

Bukannya mau melebih-lebihkan, tapi emang udah jadi rahasia publik bahwa jurusan Teknik Industri di ITB itu adalah salah satu jurusan dengan kuliah yang luar biasa intensif, praktikum yang luar biasa padat, kegiatan yang luar biasa hectic, dan tugas yang RUARR BINASA.

Begitu sibuknya sampe2 kadang gue berfikir bahwa Sistem Kredit Semester (SKS) di jurusan gue itu jauh lebih fiktif dari cerita sinetron Indonesia sekalipun. Tersanjung, Tersayang, Tercinta, Terluka, Ternoda, you name it, semuanya kalah fiktif. Kalau penghargaan piala Citra berlaku juga buat sks perguruan tinggi, kayanya jurusan gue bisa dapet nominasi skenario SKS terbaik. Dan kalo beneran ada nominasi skenario SKS terbaik, gue pengen banget muncul di video nominasinya dimana gue bakal muncul dalam gerakan lambat, dengan muka berantakan sambil manggul buku2 setebel kitab, ngeliat ke arah kamera lalu pelan2 mengacungkan jari tengah sambil teriak 'PROTECT ANIMALS, people!'.

Kembali ke realita yang pedih, semester ini contohnya. Gue sebenernya 'cuma' ngambil 22 sks -gue bilang cuma karena gue bisa aja ngambil sks lebih, 24 misalnya, but thanks God I did not. Cuma 22 sks, tapi beban yang gue rasain bikin gue mikir seolah-olah gue ngambil 3 kali lipatnya.

Gimana enggak.

Sepengetahuan gue ya, sebagaimana yang gue baca di buku panduan akademik, 1 sks itu seharusnya dialokasikan sebagai 1 jam tatap muka dan 1 jam tugas dan 1 jam belajar mandiri dalam 1 minggu. Jadi seharusnya, untuk 22 sks, gue idealnya mengalokasikan waktu total 66 jam untuk tatap muka, ngerjain tugas dan belajar mandiri.

Kenyataannya, waktu yang gue alokasikan untuk si 22 sks yang gue ambil itu jauh lebih banyak dari yang seharusnya. Bukan karena gue kerajinan, tapi karena tuntutannya memang seperti itu.

Contoh nyata, semester 4 ini gue ngambil sebuah praktikum dari prodi lain (yang sialnya harus diambil) yang bobotnya sebenernya cuma 1 sks. Tapi, untuk tatap muka dengan sang asisten saat praktikum aja makan 2,5 jam. Belom lagi kalau asistennya ketagihan atau doyan pengen tatap muka lama2. Sebelum praktikum, gue harus bikin tugas pendahuluan, yang kalau pure ngerjain sendiri makan waktu 1,5-2 jam. Setelah praktikum, gue masih juga harus bikin laporan. Berkelompok sih, tapi even dengan pembagian 1 laporan dikerjain sama 5 orang, setiap orang perlu 3 jam untuk ngerjain bagiannya. Terus setelah itu, gue masih harus bikin presentasinya juga dan presentasi di depan asistennya. Itu sendiri makan waktu 1 jam. So, untuk praktikum berbobot 1 sks yang seharusnya maksimal cuma makan waktu 3 jam, gue menghabiskan waktu ga kurang dari 8-8,5 jam.

Itu baru 1 contoh. Masih banyak lagi contoh lain yang bikin gue terharu kalau udah main itung-itungan bobos sks versus bobot realita. Sebagian diantaranya sangat memukau nalar dan mengguncang iman. Untung gue masih percaya Tuhan. Kalo enggak mungkin gue udah bikin boneka vodoo dari semenjak kuliah hari pertama di semester 4 dimulai. Kan lumayan buat melampiaskan amarah.

All in all, orang bijak bilang bahwa selalu ada hikmah dari setiap kejadian. That things happen for reason. I personally believe that.

Jadi apa hikmah yang bisa diambil dari bobot sks yang kalau dalam istilah tinju mungkin bisa disebut kelas super terbang (beneran ada loh) ini?

Mungkin ya, dengan sistem kredit yang melebihi bobotnya ini gue bisa belajar untuk lebih baik dalam time management. Semua orang kan punya time frame yang sama, sehari cuma 24 jam. Kesibukan yang menyinting ini sedikit banyak ngajarin gue untuk bisa lebih menghargai waktu dan mengaturnya agar semua kegilaan kuliah dan keabnormalan hidup bisa gue alokasikan dalam waktu 24 jam yang gue punya.

Kesibukan juga mengajarkan gue produktif dan efektif dalam ngerjain sesuatu. Apalagi gue kuliah di jurusan TI yang 4 taun kuliah fokusnya tentang efisiensi, efektifitas dan produktivitas. Kalau dulu, sebelum kuliah di itb gue ngupil aja bisa makan waktu sejam sendiri, sekarang gue udah terbiasa ngelakuin segala sesuatunya dengan multitasking dalam waktu yang lebih singkat. Misal, gue bisa ngupil pake tangan kiri dengan tangan kanan ngerjain soal kalkulus dan mulut ngunyah. Things like that.

Yet, I feel like I couldn't appreaciate the value of time more than I do now :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar