Sabtu, 17 April 2010

REAKTUALISASI PERAN KEPEMUDAAN DI ERA GLOBALISASI

Ini adalah salah satu dari sekian juta paper (berlebihan) yang pernah gue bikin dalam rangka kompetisi.

I never care to what kind of result I may get. I just love the process of involving in competition:)


REAKTUALISASI PERAN KEPEMUDAAN DI ERA GLOBALISASI

Oleh:
Dayu Dara Permata

SMA NEGERI 1 DEPOK
Jl. Nusantara Raya No. 317 Depok 16413 Telp. (021) 752 0137
Reaktualisasi Peran Kepemudaan di Era Globalisasi

Peran pemuda dalam garis waktu (timeline) perjalanan bangsa bukanlah sesuatu yang mudah terlupakan. Gelombang-gelombang kepeloporan kepemudaan, yang merupakan suatu bentuk dedikasi kepemimpinan pemuda dalam upaya menjawab tantangan dan problema yang tengah melanda bangsa, merupakan bukti otentik yang mengisyaratkan pemuda sebagai pembawa perubahan (agent of change). Sejarah mencatat, bukan hanya sekali-dua kali pemuda telah berjasa dalam mempelopori perubahan dalam tubuh bangsa ini. Perubahan yang terjadi pun bukan hanya sekedar perubahan skala kecil dengan daya jangkau yang sempit atas segelintir golongan semata melainkan revolusi berskala nasional yang efeknya dan hasilnya dirasakan, bahkan hingga detik ini, oleh segenap komponen bangsa
Dalam dinamika perjalanan Indonesia, sejarah telah mencatat setidaknya lima kali gelombang kepeloporan yang secara signifikan menentukan visi dan arah perjalanan bangsa diusung oleh komponen pemuda. Berawal dari gerakan Kebangkitan Nasional melalui pembentukan organisasi Budi Utomo pada tahun 1908 sebagai gelombang pertama kepeloporan pemuda, pemuda pun serta merta turut memberikan kontribusi ke arah lahirnya embrio perjuangan kebangsaan. Seiring dengan kentaranya gaung etnosentrisme di tengah-tengah perjuangan kebangsaan pra-kemerdekaan, maka muncul-lah gelombang kedua kepeloporan pemuda dengan visi menginisiasikan perjuangan kebangsaan yang tidak sekedar simultan tapi juga terintegrasi, melalui ikrar Sumpah Pemuda 1928. Sumpah Pemuda yang berisikan ikrar “berbangsa satu, bangsa Indonesia; bertanah air satu, tanah air Indonesia; menjunjung tinggi bahasa persatuan, bahasa Indonesia” hingga detik ini masih disakralkan keberadaannya dan diakui sebagai penghubung yang berhasil menjembatani jurang majemuk kedaerahan menuju persatuan yang tunggal dalam upaya mencapai kesatuan perjuangan. Selanjutnya, menyadari bahwa cita-cita hakiki perjuangan bangsa adalah terwujudnya suatu pemerintahan yang berdaulat atas validitas territorial beserta segenap komponen kemasyarakatan di dalamnya, perjuangan pemuda berlanjut hingga titik dimana pemuda menuntut para pemimpin bangsa agar segera memproklamirkan kemerdekaan hingga terbentuknya suatu negara kesatuan Republik Indonesia. Peristiwa ini merupakan gelombang ketiga kepeloporan pemuda dalam bentuk titik balik perjuangan fisik kebangsaan yang ditandai dengan lahirnya UUD 1945 dan Pancasila sebagai landasan kostitusional dan falsafah negara .
Merdeka bukanlah akhir dari perjuangan. Bahkan, apabila ditinjau dari banyak aspek, perjuangan dalam mempertahankan dan mengisi kemerdekaan justru cenderung lebih kompleks dibandingkan dengan perjuangan meraih kemerdekaan itu sendiri. Meskipun bangsa ini telah memiliki pemerintahan yang berdaulat, pemimpin dan militer yang kuat, gerakan kepeloporan pemuda tetap mutlak dibutuhkan. Hal ini dibuktikan dengan peran serta pemuda dalam melawan aksi anarkis aliran komunis berformat Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia (G30SPKI) tahun 1966 yang merupakan gelombang keempat kepeloporan pemuda. Tanpa adanya peran serta mahasiswa dan organisasi sosial kepemudaan, upaya penumpasan paham dan praktik komunis praktis takkan mungkin tuntas terlaksana. Lebih jauh lagi, tanpa adanya intervensi kepeloporan kepemudaan kala itu maka pemindahan kekuasaan dari Orde Lama ke Orde Baru melalui Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) pun akan mustahil dapat berlangsung secara arbitratif. Namun ironis bagi pemuda, pasca pengalihan kekuasaan dari Orde Lama ke Orde Baru yang mereka motori, justru kelelusaan dan ruang gerak mereka menjadi sangat terbatas, bahkan cenderung ditekan hingga sampai pada batas dimana pemuda tidak lagi memiliki hak dan akses ke bidang politik pemerintahan. Mahasiswa sebagai komponen pemuda terdidik (educated youth) pada masa Orde Baru malah dipandang sebagai ancaman bagi dunia perpolitikan yang kala itu disetir oleh oknum penguasa menuju arah homogenisasi kedaulatan sentral. Hasilnya, kreatifitas dan karakter pemuda di bidang politik menjadi sangat minimal. Bersamaan dengan keterbatasan akses pemuda atas politik pemerintahan, pemerintah praktis menjadi aktor tunggal penentu kebijakan negara. Mekanisme kontrol yang sedianya berada di tangan rakyat dan dipelopori oleh kompenen kepemudaan hilang secara serta merta, meninggalkan suatu bentuk pemerintahan yang otoriter dan menyimpang. Demokrasi yang seharusnya menjadi pondasi pemerintahan berbangsa dan bernegara telah berubah mode menjadi otokrasi yang bersifat memusat dan diktatis. Tranparansi pemerintahan pun seolah pudar diselubungi kabut korupsi, kolusi dan nepotisme yang kian menggerogoti kekayaan negara. Setelah genap tiga puluh dua tahun terpenjara di balik jeruji otoriterisme, tepat pada tahun 1998 baru akhirnya pemuda berani mengambil gebrakan berformat tuntutan reformasi di bidang pemerintahan. Peristiwa ini menandai berlangsungnya gelombang kelima kepeloporan pemuda. Modus krisis moneter yang melanda seluruh negeri lah yang akhirnya memercikkan api semangat di tubuh para pemuda bangsa, menyadarkan mereka akan betapa selama ini bangsa dan negara yang mereka cintai telah digerogoti oleh rayap-rayap pemerintahan hingga rapuh tanpa daya.
Apabila kita cermati bersama, di dalam praktiknya, gelombang-gelombang kepeloporan kepemudaan yang selama ini memotori revolusi sejarah bangsa sesungguhnya memiliki suatu keterkaitan tersendiri. Ada sebuah benang merah yang mempersatukan tiap-tiap gelombang kepeloporan kepemudaan sehingga fungsi dan peran pemuda sebagai agent of change dapat terwakili di dalamnya. Sebuah benang yang yang juga “menjahit” keragaman bangsa menuju suatu kebhinekaan. Disadari atau tidak, benang merah dari setiap gerakan yang dipelopori oleh komponen pemuda sebenarnya adalah jiwa nasionalisme.
Tak dapat diragukan lagi, nasionalisme merupakan komponen dasar kebangsaan yang mutlak diperlukan demi terciptanya suatu negara yang bersatu dan berdaulat. Secara semantis, nasionalisme diartikan sebagai suatu sikap dan atau tindakan yang menunjukkan loyalitas dan dedikasi seorang individu terhadap bangsa dan negaranya. Namun pada praktiknya, interpretasi seorang individu, dalam hal ini pemuda sebagai komponen yang memiliki peran strategis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, tidaklah se-statis definisi dari nasionalisme itu sendiri. Terdapat dua faktor utama yang mempengaruhi interpretasi pemuda atas jiwa nasionalisme, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Yang dimaksud dengan faktor internal yang mempengaruhi interpretasi pemuda atas nasionalisme adalah kualitas kebangsaan yang dimiliki oleh masing-masing pemuda yang bersifat individualistik. Sementara yang dimaksud dengan faktor eksternal adalah situasi aktual skala nasional yang berlangsung pada generasi tertentu yang turut menentukan arah perjuangan kebangsaan sebagai perwujudan jiwa nasionalisme.
Sebagai perbandingan, pada masa pra-kemerdekaan dimana kualitas kebangsaan generasi muda masih tergolong dominan dan situasi skala nasional yang aktual adalah upaya perlawanan terhadap tirani kolonialisme, maka perwujudan interpretasi pemuda atas nasionalisme diimplementasikan melalui upaya perjuangan meraih kemerdekaan negara. Artinya, pada masa tersebut interpretasi atas praktik nasionalisme dipandang sebagai perjuangan fisik dan politik demi merebut kemerdekaan dari tangan penjajah. Sementara itu, pada masa pra-reformasi dimana kualitas kebangsaan generasi muda telah ditekan sedemikian rupa oleh oknum pemerintah yang otoriter dengan cara menutup akses pemuda ke dunia politik pemerintahan, maka perwujudan nasionalisme didominasi “perlawanan” terhadap pemerintahan yang homogen melalui upaya transformasi komponen pemerintahan.
Di era globalisasi seperti sekarang ini dimana tantangan permasalahan yang mengancam stabilitas nasional didominasi oleh faktor ekstern bangsa, interpretasi pemuda atas nasionalisme sudah barang tentu berbeda dengan interpretasi pemuda generasi yang lampau di masa pra-kemerdekaan ataupun pra-reformasi dimana ancaman berasal dari aspek intern bangsa. Dengan adanya perubahan era dari era nasional menyongsong era global, perlu dilakukan suatu proses penyesuaian fungsi komponen bangsa sehingga stabilitas bangsa dan negara tetap terjaga. Pasalnya, sebagaimana kita ketahui bersama, globalisasi memiliki implikasi-implikasi negatif yang secara signifikan mengancam jiwa nasionalisme di tubuh internal generasi muda. Dalam konteks ini, maka penyesuaian yang krusial harus dilakukan adalah reaktualisasi peran pemuda.
Reaktualisasi dalam konteks kepemudaan diartikan sebagai penataan kembali fungsi dan peran pemuda sesuai dengan perkembangan jaman sehingga diperoleh sinkronisasi dalam arah dan tujuan perjuangan kepemudaan. Dengan adanya proses reaktualisasi peran kepemudaan seiring dengan masuknya bangsa Indonesia ke era baru globalisasi, maka fungsi dan peran pemuda pun diharapkan akan menjadi lebih terarah dan komperehensif.
Dari sekian banyak implikasi negatif globalisasi, dampak negatif yang paling terasa efeknya adalah peyorasi kualitas kebangsaan yang mengarah kepada degradasi jiwa nasionalisme dari generasi muda. Ironisnya, banyak dari generasi muda yang mengalami degradasi jiwa nasionalisme umumnya tidak menyadari bagaimana dampak negatif globalisasi terhadap generasi mereka. Westernisasi merupakan aspek globalisasi yang besar kontribusinya terhadap fenomena degradasi nasionalisme. Pola pikir kapitalis ala Barat kini telah mendominasi pikiran generasi muda, mensubstitusi asas gotong royong dan kekeluargaan yang notabene merupakan basis rasa nasionalis yang berakar pada Pancasila. Hal ini terlihat dari sikap generasi muda sekarang yang cenderung lebih konsumtif dan hedonis. Mereka merasa lebih bangga apabila menggunakan barang-barang impor yang harganya relatif mahal ketimbang produk dalam negeri sendiri karena menurut versi mereka, segala hal yang berbau impor memiliki nilai prestise tersendiri. Sementara itu, istilah nongkrong di cafe dan clubbing menjadi semakin populer dan digemari sebagai aktivitas di waktu senggang, suatu kebiasaan yang sedikit demi sedikit mengikis pola hidup sederhana di kalangan generasi muda.
Selain westernisasi, modernisasi juga dipandang banyak pihak turut memberikan kontribusi negatif ke arah pengikisan jiwa nasionalis. Sudah bukan hal yang asing lagi di telinga apabila kita mendengar stereotype “tradisional itu kuno” dilontarkan oleh generasi muda. Banyak dari generasi muda yang mulai mengabaikan nilai-nilai tradisi kedaerahan dan menggantikannya dengan even yang bersifat lebih “modern” dan kekinian. Ketika seorang remaja lebih memilih untuk meluangkan waktunya demi menonton konser musik rock ketimbang menyaksikan pagelaran seni daerah, maka dapat disimpulkan bahwa remaja tersebut telah menjadi korban modernisasi. Lebih jauh lagi, modernisasi di masa seperti sekarang ini benar-benar sudah mengakar, sebagian generasi muda bahkan ada yang berpikir bahwa nilai-nilai yang mengusung tradisi sudah tidak relevan lagi diterapkan di negeri sendiri.
Ekspansi teknologi dan informasi global tak ayal lagi merupakan salah satu ciri globalisasi yang perkembangannya berbanding lurus dengan efek negatif globalisasi itu sendiri. Arus informasi yang seolah tak terbendung menjadi vektor ampuh yang secara tidak langsung mensosialisasikan realita global yang menggiurkan namun bertentangan dengan prinsip-prinsip luhur bangsa. Pemuda kian familiar akan prinsip egosentris-materialis dan metropolis, menjadikan pribadi dan pola pikir mereka semakin jauh dari prinsip ekonomi-kekeluargaan dan kesederhanaan. Peran strategis pemuda sebagai komponen yang memiliki kemampuan transformasi sosial pun otomatis lumpuh seiring dengan absennya keinginan untuk menempatkan kepentingan nasional di atas kepentingan pribadi atau golongan. Bila keadaan ini terus dibiarkan, maka pada stadium selanjutnya bukanlah suatu hal yang mustahil bangsa ini akan mengalami perselisihan kepentingan yang pada akhirnya akan berujung pada perpecahan atau disintegrasi bangsa.
Implikasi negatif globalisasi, tidak diragukan lagi, merupakan suatu bentuk tantangan perkembangan jaman yang harus diselesaikan secara tuntas. Dalam pelaksanaannya, penanggulangan dampak globalisasi otomatis menuntut diberlakukannya reaktualisasi peran kepemudaan. Pasalnya, dalam konteks penanggulangan dampak globalisasi, generasi muda bukan hanya sekedar subyek atau pelaku yang menginisiasi proses namun juga sekaligus sebagai obyek yang turut dipengaruhi eksistensi atau keberadaanya. Krisis identitas bangsa yang ditandai dengan terkikisnya rasa nasionalisme dalam diri pemuda yang dewasa ini umum dialami oleh generasi muda adalah sinyal kuat yang menandakan betapa pemuda telah gagal dalam menginterpretasikan aspek-aspek loyalitas dan dedikasi mereka terhadap bangsa dan negara melalu sikap kebangsaan. Dan untuk mengatasi polemik ini, dibutuhkan suatu mekanisme penataan yang terintegrasi dan berkesinambungan. Terintegrasi dalam arti penataan kembali peran kepemudaan melibatkan bukan hanya komponen pemerintah tapi juga segenap komponen masyarakat secara menyeluruh. Sedangkan berkesinambungan memiliki arti dalam prosesnya, upaya penataan atau reaktualisasi tersebut harus dilaksanakan secara kontinyu atau berkelanjutan seiring dengan dinamika perkembangan jaman.
Dalam penerapannya, reaktualisasi peran kepemudaan memerlukan adanya komitmen bersama dari segenap lapisan masyarakat sebagai komponen yang berinteraksi langsung dengan generasi muda dan komitmen dari pemerintah sebagai fasilitator berlangsungnya mekanisme. Tanpa keberadaan salah satu faktor, baik itu dukungan dari segenap lapisan masyarakat ataupun pemerintah, maka proses reaktualisasi praktis hanya tinggal teori. Lapisan masyarakat sebagai medium interaktif yang berinteraksi langsung dengan komponen pemuda harus dikondisikan sedemikian rupa sehingga ketika pemuda berada di tengah-tengah masyarakat, pemuda menjadi sadar akan perannya sebagai komponen yang memiliki kemampuan tranformasi sosial. Pameo “belum tua, belum boleh bicara” yang hingga saat ini masih diusung oleh segelintir kelompok masyarakat hendaknya dijauhkan dari pola interaksi masyarakat dengan pemuda karena hal yang demikian dapat memicu stagnansi fungsi akibat ketidakpercayaan diri di tubuh pemuda yang berujung kepada perkembangan statis di tubuh masyarakat itu sendiri. Sementara itu, pemerintah sebagai fasilitator reaktualisasi peran kepemudaan sekaligus suatu kesatuan yang memiliki kewenangan birokratif hendaknya mengikutsertakan pemuda dalam proses pengambilan keputusan ataupun mekanisme kontrol kebijakan agar regenerasi kader pemerintahan tetap berjalan dan generation gap dapat dijembatani seminimal mungkin.
Generasi muda adalah tulang punggung yang menopang keberlangsungan pembangunan. Pun merupakan kompas yang menunjukkan arah orientasi pembangunan. Tinta sejarah telah menggoreskan bukti bahwa pemuda merupakan komponen bangsa yang memiliki peran strategis dalam perjalanan bangsa. Kualitas kepemudaan secara sinergis berkaitan dengan kualitas moral bangsa sekaligus parameter keberhasilan politik bernegara. Pemuda adalah agen pembawa perubahan, inisiator revolusi kebangsaan, sekaligus supervisor pembangunan. Oleh karenanya, reaktualisasi peran kepemudaan merupakan harga mutlak yang harus dibayar demi terciptanya suatu komponen bangsa terintegrasi yang kritis, produktif dan penuh inisiatif di masa depan.
Karena pemuda hari ini adalah pemimpin esok hari.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar