ITB Tak Menjamumu Hari Ini!
Oleh M Arfah D
Sabtu, 7 April 2007
Kampus terbuka hanya untuk yang membawa undangan kuliah umum Wakil Presiden RI.
Kalimat di atas tertera jelas pada kertas putih yang digantung di tiap pintu masuk kampus Institut Teknologi Bandung. Jalan Ganesha lengang. Kedua sisi persimpangannya ditutup oleh deretan motor dan mobil dari Kapolwiltabes. Paspamres yang didelegasikan oleh TNI Angkatan Darat memasuki kampus, menjaga ketat gerbang utara dan Aula Barat, tempat saat Jusuf Kalla memberikan kuliah umum Penyelesaian Konflik di Indonesia. Ada satu meja depan di sebelah kanan gerbang utama. Di belakangnya duduk dua petugas dari Kesatuan Keamanan Kampus. Jika Anda bukan undangan, sekalipun Anda mahasiswa atau dosen ITB yang berniat masuk bukan untuk melihat kumis Pak Jusuf dan mendengarnya berbicara di podium, jelas Anda dilarang oleh dua petugas tersebut. Anda hanya bisa tersudut di Taman Ganesha dan Mesjid Salman, sebab hari itu, kampus ITB menjadi wilayah privat Wakil Presiden dan undangannya.
Heran, kini kuliah umum harus dihadiri dengan membawa undangan. Jelas undangannya tentu orang-orang pilihan. Maka orang pintar pun akan semakin menjadi pintar. Parahnya, kampus dipilih menjadi tempat acara, yang kemudian menjadi seperti lokasi pernikahan. Pagi itu, sekitar 77 mahasiswa Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati (SITH) angkatan 2006 terpaksa ujian matakuliah Biologi Umum di selasar Gedung Kayu Salman, dengan gelaran tikar dan pemandangan orang lalu lalang. Puri Artha Widhiasi (BI’04) sebagai salah satu koordinator ujian ditolak masuk untuk mengadakan ujian pukul 09.00 di tiga ruangan di Labtek Biru yang telah direncanakan sebelumnya. Dia diperintahkan untuk membawa surat ijin yang pun petugasnya tidak menjelaskan secara rinci bagaimana cara memperoleh surat tersebut. Hingga akhirnya, ujian dilaksanakan, molor 30 menit, setelah perdebatan menghasilkan keputusan bahwa satu dosen diperbolehkan masuk hanya untuk mengambil soal ujian dengan dikawal dua petugas.
Tak hanya mahasiswa SITH yang dirugikan, mahasiswa Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan pun mengalami hal yang tidak lebih baik. ”Kami ke kampus untuk praktikum Komputer dan Pemrograman, dan tidak satu pun dari kami yang diperbolehkan masuk dengan alasan yang tidak jelas,” kata Kartika Rahma (FTSL’06). Proyek Khusus yang sedang dijalankan oleh sebagian mahasiswa Kimia angkatan 2004 pun harus mengalami kendala. Iis Fatmawati (KI’04) menyesalkan kedatangan Pak Jusuf yang memberikan dampak besar bagi prosedur praktikum mereka. Dan mahasiswa yang sedang penelitian untuk Tugas Akhir dan mesti berada di laboratorium hari itu, entah kini apa yang terjadi pada mereka.
Kedatangan Jusuf Kalla ke kampus ITB untuk kuliah umum selama dua jam, dari pukul 13.00 hingga 15.00, merupakan satu pukulan hebat bagi masyarakat kampus, khususnya mahasiswa. Penjagaan ketat yang dilakukan sedari pagi, dan pembersihan jalan Ganesha dari rakyat biasa membuat mahasiswa garang. Seminar Nasional Quo Vadis Kemandirian Bangsa Indonesia diselenggarakan oleh Keluarga Mahasiswa (KM) ITB dan Forum Kajian Filsafat Bandung, yang sebelumnya direncanakan di Campus Center ITB dialihkan ke Gedung Sasana Budaya (Sabuga) ITB. Bahkan, informan yang lolos masuk ke kampus ITB secara tak sengaja, memberitahukan mesin ATM di dalam kampus semua dimatikan, dan hampir semua WC ditutup. Entah ketakutan semacam apa yang sedang menghinggapi pemerintah, atau Jusuf Kalla pribadi.
Sempat ada dugaan Dwi A. Nugroho, Presiden KM ITB periode 2006-2007, terlibat dalam penutupan kampus. Anni Nuraeni (TL’04), Manajer SDM Sosial Politik, menegaskan Dwi tidak ada sangkut pautnya, dan saat dihubungi, Dwi sedang menghadiri Seminar Nasional di Sabuga bersama Amien Rais. Sebagian mahasiswa yang terpojok di pagar Mesjid Salman ingin beraksi sebagai bentuk penunjukkan sikap. Zulkaida Akbar (FI’03), yang akan menjadi pengganti Dwi untuk periode selanjutnya, mengundang Pak Djaji berbincang dan berbicara di hadapan mahasiswa, ”Tidak perlu kalian mencari persoalan lain, dan untuk hal ini, rektorat tak bisa ikut campur.” Pak Mashudi sebagai koordinator lapangan Kapolwiltabes mengatakan ia dan pasukannya bertugas untuk mengisolasi wilayah acara, tidak lebih. Izul, bersama mahasiswa lainnya, berencana melakukan sesuatu, tapi tertahan oleh hujan.
Selebaran untuk pengadaan aksi datang dari sudut lain. Sehabis Dhuhur, puluhan mahasiswa muncul, mengenakan jas almamater, dan mengusung bendera KM ITB. Mereka berkumpul di Gelap Nyawang dan berorasi. Terlihat Army Al-Ghifary (MS’04) menjadi salah satu komando lapangan. Dalam orasinya, mereka menggugat pemerintahan SBY-JK yang tidak memberi perubahan.
Seperti dalam kisah, peristiwa ini meninggalkan kekesalan yang tak terjawab. Yang pasti hari itu, mahasiswa ITB hanya mampu memandang gerbang kampusnya lewat pagar betis barisan polisi.**
Tidak ada komentar:
Posting Komentar